Senin, 29 Maret 2010

Jeritan di Lembah Sunyi

SUNGGUH mengenaskan nasib dunia olahraga Indonesia dalam perjuangan untuk mengusik kepedulian pemerintah. Boleh dikatakan posisinya sudah seperti pengemis yang terus mengharapkan belas kasihan. Boleh saja hari telah berganti minggu, minggu berganti bulan. bulan pun berganti tahun dan bahkan tahun pun terus bergulir namun pemerintah tetap menganggap olahraga sebagai anak tiri yang dibiarkan hidup menggelandang di jalanan.

Jangan heran bila olahraga di Tanah Air terus menghiba. Bahkan tidak bosan untuk berteriak sampai menjerit untuk menyentuh hati yang paling dalam dari pemerintah. Namun ibaan, teriakan dan jeritan itu seperti dilakukan di lembah sunyi. Terus berlalu senyap tanpa tanggapan apa pun.

Setelah dalam jaman pemerintahan Presiden Soekarno, olahraga memang tidak lagi mendapat tempat strategis di negeri ini. Boleh saja pemerintahan terus berganti namun nasib olahraga Indonesia tidak pernah berubah. Termasuk saat kembali diaktifkannya Menteri Negara Pemuda dan Olahraga di jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah sebelumnya dinonaktifkan ketika Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri berkuasa.

Usaha-usaha olahraga Indonesia untuk mendapat perhatian lebih terus tenggelam. Bahkan jeritan dunia olahraga bukan saja lenyap ditelan lembah sunyi namun sudah seperti menerpa tebing terjal dan tembok mati yang kokoh. Akibatnya jeritan itu menjadi gema yang berbalik menghantam dunia olahraga itu sendiri.

Padahal dunia olahraga sudah tahu diri. Tidak meminta banyak kepada pemerintah yang selalu memberikan alasan, titik perhatian masih pada pembangunan bidang lain untuk mensejahterakan rakyat. Tetapi apa nyatanya. Bidang lain tak bertambah lebih baik, dunia olahraga juga dibiarkan terus makin terpuruk.

Memang, pada SEA Games Laos 2009, Indonesia bisa memperbaiki peringkat dari posisi empat naik ke urutan tiga. Namun ini jelas masih mundur dibandingkan kejayaan tahun 1970-an saat Indonesia berkibar sebagai juara umum di kawasan Asia Tenggara. Untuk tingkat Asia dan Olimpiade, posisi Indonesia makin melorot.

Dunia olahraga Indonesia walaupun bermimpi bisa mendapat perhatian seperti zaman pemerintahan Soekarno tetapi tidak banyak meminta. Yang diperlukan hanya dipenuhinya suatu kepastian dana untuk persiapan para atlet dalam menghadapi multi event yang membawa nama bangsa dan negara seperti SEA Games, Asian Games dan olimpiade. Kebutuhan yang amat kecil bila dibandingkan kebutuhan olahraga secara keseluruhan untuk meningkatkan prestasi sehingga bisa bersaing dengan gagah di persaingan Asia Tenggara, Asia maupun dunia.

Dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, Malaysia dan Singapura, olahraga Indonesia pantas iri dan miris. Di negeri-negeri tersebut olahraga mendapat pehatian serius dan sudah menjadi sektor unggulan dalam membangun bangsa dan negara. Kalau dibandingkan China, Australia, Jerman, Amerika Serikat dan Rusia makin jelas lagi betapa tak berharganya olahraga di mata pemerintah. Di negara-negara besar tersebut olahraga sudah menjadi unggulan dan andalan dalam mengangkat nama dan citra bangsa di pergaulan internasional.

Di Indonesia, perhatian pemerintah bukannya tidak ada. Namun masih amat kecil dan tidak serius turun tangan dalam ikut mengangkat olahraga menjadi andalan. Padahal setiap pemimpin selalu berteriak lantang dalam pidato-pidato dengan menyatakan olahraga sebagai bidang yang penting dalam membangun generasi masa depan serta juga mengangkat Merah Putih di tingkat internasional.

Disebutkan pula, olahraga penting karena bisa membuat warga negara yang sehat jasmani dan sehat rohani. Mensana an korporesano pun mencuat ke muka. Juga diteriakkan, olahraga memiliki nilai sportivitas dan fair play yang amat penting untuk membangun warga negara yang kesatria. Nilai-nilai ini bahkan disebutkan pantas di sebar luaskan dalam pembinaan generasi muda.

Sayang baru dalam batas terikan saja. Fakata di lapangan menunjukkan pidato itu berbalik 360 derajat. Olahraga bukan saja terabaikan tetapi juga dibiarkan kalah dan takluk oleh kepentingan-kepentingan keserakahan bidang lainnya. Stadion olahraga yang semula berdiri kokoh dihancurkan. Lapangan-lapangan olahraga dibolduser. Sarana olahraga itu kemudian disulap menjadi mall dan pusat perbelanjaan megah yang makin meningkatkan konsumerisme masyarakat.

Dalam kondisi seperti itu apa yang diharapkan? Jadi jangan heran bila dunia olahraga Indonesia kemabli hanya bisa menjerit dalam persiapan menghadapi Asian Games 2010, November nanti di Guangzhou, China serta mempersiapakan diri menuju SEA Games 2011 di Indonesia. Sering dengan makin mendekatnya waktu menuju Asian Games, pemerintah belum juga bisa memberikan kepastian pada olahraga Indonesia.

Padahal sudah dibuat Program Indonesia Emas yang kemudian disingkat menjadi Prima. Tetapi program ini belum dapat dilaksanakan dengan fokus karena payunng hukumnya berupa Perpres belum juga digelontorkan pemerintah. Padahal harapan terhadap Perpres dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu sudah jauh-jauh hari dikumandangkan. Namun Menegpora Andi Alifian Mallarangeng hanya bisa menyatakan sabar menanti.

SBY dan para menteri di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II saat ini, bahkan sejak harapan terhadap turunnya Perpres mencuat, lebih konsentrasi pada sepak bola, satu cabang populer namun minim prestasi, setelah bersabda tentang penting adanya Kongres Sepak Bola Nasional (KSN). Kepentingan olahraga lebih luas, dengan di dalamnya menyangkut kebutugan cabang olahraga dengan prestasi Asia Tenggara, Asia dan dunia pun terabaikan. Tampak aspek kualitas prestasi belum menjadi perhatian. Justru popularitas yang diutama. Memang pantas kalau olahraga Indonesia tetap terpuruk dan berada di lembah sunyi. ***

* Penulis: Gungde Ariwangsa, adalah Redaktur Olahraga Harian Umum Suara Karya

* Tulisan ini dimuat di HU Suara Karya edisi Senin (29 Maret 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar