Selasa, 28 September 2021

Perilaku Orangtua petenis di Turnamen


Jakarta, 27 September 2021.Suatu turnamen janganlah dilihat hanya turnamen  itu sendiri. Karena banyak pelajaran yang bisa diterapkan dalam kehidupan tenis sehari hari. 

Kalau kita hanya melihat atau berpikir " how to win " lebih penting dari pada " how to play" itu sangat keliru. Seharusnya petenis yunior lebih ditekankan pukul sekeras kerasnya karena dengan sendirinya power itu didapat karena kebiasaan. Jadi tidak perlu menambah latihan beban diluar lapangan tenis.

Sering terjadi di turnamen yunior diajarkan pukulan " moon ball " karena petenis cilik itu pendek sehingga kesulitan dalam pengembalian bola. Ini menunjukkan  " how to win".
Kenapa kelompok 10 tahun menggunakan bola dengan 75 % tekanannya. Agar dipukul sekeras kerasnya dengan cara adanya backswing sehingga follow through lengkap. Ada pendapat yang mengatakan lebih baik bola Out dari pada nyangkut di net.

Mungkin berbeda cara melihat atas hasil dari pertandingan. Sudah lama perbedaan pendapat dengan pelatih yang lebih mementingkan " how to win "ini. Bagi pelatih itu cara termudah sebagai strategi marketing. Sehingga kualitas pemain pemain Indonesia kehilangan power dibandingkan petenis asing. Coba kalau nonton langsung turnamen internasional bisa dilihat kualitas pukulan petenis Indonesia. 

Sekarang beruntung petenis di Jakarta karena frekuensi turnamen yunior lebih banyak operator pelaksanaan dengan kiblat ke Luar Negeri. Tanpa wasit.

Sebenarnya sama dengan Persami ( pertandingan Sabtu-Minggu) waktu sekitar tahun 1995 diperkenalkan di Pusat Tenis Kemayoran. Turnamen dilaksanakan sendiri tanpa Referee , wasit, ballboys. Ditanamkan agar petenis bisa menerapkan Sportivitas. 

Dalam Persami diajarkan hak dan kewajiban petenis. Hal yang kecil misalnya kewajiban petenis lapor sendiri kehadirannya ke meja pertandingan bukan orang tuanya. Sekarang orangtua sibuk seperti peserta turnamen , sedangkan anak sibuk bermain bersama temannya.

Demikian pula haknya jika dirugikan oleh wasit langsung boleh protes. Kalau tidak berhasil minta panggil Referee bukan anggota panpel lainnya. Bukan orangtua yang sibuk. Begitu kalau dirugikan dengan " coaching" dari luar lapangan , bisa dengan sopan cukup dengan cara kode tangan ke mulut. Tentunya orangtua atau pelatih lawan akan malu dengan sendirinya jika ditegur anak anak,apalagi berulang. Kalau orang tua lawannya bandel panggil Referee. Itu haknya harus dihormati. Itu harus diajarkan. 

Pernah kejadian di Persami waktu itu. Dimana atlet mau masuk lapangan tas, termos air minum yang bawa pembantu. Waktu itu selaku pelaksana dipanggil atlet tersebut diberitahu kalau yang boleh masuk lapangan adalah
 atletnya sendiri.Akhirnya atlet masuk kelapangan dengan membawa perlengkapan pendukungnya.
Demikian sejak dari rumah sudah diajarkan atlet bawa pakaian dan perlengkapan. Bukan sebaliknya disiapkan orangtua yang so pasti sayang anak.Disini orang tua hanya mengingatkan saja item item apa yang diperlukan.

Hal yang penting adalah mendidik atlet kejujuran dimana dikenal sebagai Sportivitas.
Khususnya jika turnamen tanpa wasit sering terjadi anak secara tidak langsung agar bermain curang jika ingin menang. Dan ini jadi trend sekarang. 

Pernah kejadian di Pusat Kemayoran sekitar tahun 1990. Bola dimata anaknya masuk sehingga dipukul tapi orangtua diluar lapangan berteriak Out. Karena anaknya ngotot bola masuk sehingga permainan terus berlanjut tetapi yang terjadi ditempat penonton orang tuanya tanpa sadar mengatakan " goblok" .

Bagaimana mengatasi masalah anak kalah dalam pertandingan? Ini sangat penting. Apakah dimarahin? Tetapi pernah terjadi orangtua menghukum putrinya yang kalah dengan suruh berlari keliling kompleks Pusat Tenis Kemayoran sedangkan Bapaknya naik sepeda.

Pernah dipraktekkan dilakukan pada salah satu petenis nasional sekarang lagi main di PON XX Papua. Waktu itu dia masih yunior 14 tahun
." Kenapa kalah " jawabannya " Tidak tahu "

Ini pertanyaan yang keliru. Dirubah. Karena setelah bermain dan kalah banyak beban bagi anak yang sudah capek dan takut dimarahi. Jangan sekali kali dimarahi.

Disinilah perlunya suatu komunikasi yang lembut. Beri kesempatan istrahat sejenak setelah tenang baru dialog. Seolah olah tidak memikirkan hasil dari pertandingan. Dimulai dengan sama sama menyenangi permainan tenis dan akhirnya dia mengakui kalau tadi kalah. Kenapa bisa kalah? Kan dia yang main. Sebelum main tentu sudah punya caracara bermain yang sudah direncanakan ( waktu latihan ) dan sebagainya. Kalau melihat sendiri permainannya ( tentu berdasarkan catatan yang dibuat) ditunjukkan kesempatan bisa menang ada tapi tidak dimanfaatkan. Ya banyak cara berkomunikasi tapi yang penting di tenis modern ini digunakan " two-way comunnications" dan sudah usang kalau digunakan satu arah berkomunikasi. 
Biarlah anak anak ijmenyenangi bermain tenis. Jika sudah maka sendirinya mudah berkembang.

Hanya kalau penanganan terhadap petenis sejak muda sudah salah kaprah maka sangat diragukan akan berhasil di masa depannya. Apalagi petenis itu dibiasakan tidak mandiri.

Kejadian yang tentunya memalukan pernah terjadi di Pusat Tenis Kemayoran akibat ulah orangtua sendiri. Yaitu seorang Ibu melawan seorang Bapak akibat ulah seorang Ibu yang terkenal rewel menyebabkan hampir adu " fisik" dilapangan tenis Pusat Tenis Kemayoran. Bahkan salah satu orangtua mantan petenis nasional sempat melayangkan tinjunya kepada petugas pertandingan, hanya dipisahkan oleh salah satu orang tua lainnya. Ini sudah pernah terjadi.

 Untungnya belakangan tidak pernah lagi mendengar kelakuan kelakuan yang negative yang dilakukan para orang tua peserta yang sebenarnya statusnya dalam turnamen adalah penonton .

Memang dibutuhkan kesabaran dalam mendidik anak dalam tenis, terutama bagi orangtua yang tidak main tenis. Hanya bisa menonton tapi bisa berlaku sebagai " coach ", ini bahayanya karena tidak bisa memberi contoh tehnik permainan tenis. Sebaiknya orangtua memberi motivasi kepada putra putrinya terutama dalam mendukung putra putrinya. Sehingga anak merasa lebih percaya diri waktu bertanding. Dan tidak disalahkan.

Pemain dibiasakan seharusnya mandiri karena bertanding tidak didampingi pelatih dilapangan dan berani bertanya kepada wasit atau referee yang bertugas. Ini penting untuk diketahui masalah hak dan kewajibannya sebagai atlet dalam turnamen. Misalnya kalau dalam pertandingan tanpa wasit atau ada wasit merasa terganggu dengan adanya " coaching" dari pihak lawan dari luar lapangan dalam suatu pertandingan. Cobalah menegur dengan cara cukup sopan, yaitu beri kode tutup mulut. Tentunya orang tua atau pelatih dengan sendirinya akan malu dengan peneguran tersebut. Kalau perlu berulang ulang dilakukan cara tersebut. Jikalau tidak mempan baru beritahu wasit atau Referee. Tetap harus dilakukan oleh petenis sendiri.

 Makin maraknya turnamen yunior akhir akhir ini di Jakarta justru menimbulkan pembelajaran yang justru menyimpang. Justru rohnya atlet adalah SPORTIVITAS sudah dilupakan. Bisa dilihat pada kelompok 10 atau diatas dimana di Indonesia petenis belum bisa mandiri tanpa wasit sehingga campur tangan orang tua kelihatan sangat dominan. Sebenarnya maksud di Luar Negeri tujuan tanpa wasit yaitu ajarkan kejujuran kepada atlet. Jangan sampai si anak merasa kalau bermain tenis perlu perilaku tidak jujur untuk menang. Apa lagi diberi contoh oleh orangtua sendiri. Kecendrungan ini banyak terjadi di Jakarta sehingga bisa melupakan how to play tapi menjurus kepada how to win

Marilah bersama sama baik para orangtua , pelatih maupun penyelenggara turnamen ikut bertanggung jawab demi kemajuan putra putri kita sebagai aset bangsa dengan ikut membantu saling didik petenis yunior. Kemajuan petenis juga membawa nama orang tua, pelatih, club.
Sebagai penyelenggara ikut bangga melihat kemajuan petenis yunior yang telah berlaga di turnamennya.( penulis August Ferry Raturandang)

5 komentar:

  1. Luar biasa ,how to PLAY for JUNIOR,
    KEJUJURAN & kemandirian Serta komunikasi, player & Coach

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah memberikan pencerahan. Semoga tenis di indonesia bisa semakin maju

    BalasHapus
  3. Meskipun perlu waktu namun sebagai insan tenis harus optimis dengan pencerahan ini.
    Jikalau ada perbedaan pendapat tentang sikap dan penanganan hal tersebut adalah LUMRAH

    BalasHapus
  4. Tenis merupakan salah satu cabor yang unik, perlu attitude & sportifitas yang tinggi baik pemain maupun penonton. Semoga bisa menjadi pembelajaran bagi atlet tenis junior dan menghasilkan atlet yang berkualitas. Salam olahraga.

    BalasHapus
  5. Penulisan yang menarik di tengah bangkitnya animo tenis Indonesia.

    Memang sebaiknya orang tua dan pelatih bisa mawas diri utk tidak ikut dlm jalan pertandingan terutama penentuan bola in out dan melakukan coaching , apabila ditemukan pemain yg tidak jujur agar meminta panitia mengawasi jalannya pertandingan. Lebih baik utk pertandingan anak usia dibawah 12 tahun memakai wasit karena ketidakjujuran beberapa pemain , orang tua dan pelatih dapat menular dan membahayakan karakter pemain tersebut ke depan nya , Wass Wr

    BalasHapus