Minggu, 17 Oktober 2021

Campur Tangan Orang Tua dan pelatih Tidak Selesaikan Masalah.


RemajaTenis. Jakarta, 18 Oktober 2021. Banyak kejadian dilapangan tenis bisa dipakai sebagai pelajaran khususnya turnamen yunior. So pasti dukungan orang tua sangat diharapkan baik oleh putra putrinya juga bagi klub atau induk organisasi tenis disamping pelatih.

Tapi jangan lupa semua ada batas batasnya dukungan yang diberikan orang tua khususnya di turnamen yunior.

" Lebih baik tanpa wasit " itu pendapat yang dilontarkan oleh orangtua. Karena mengacu dengan turnamen diluar negeri. Kita telusuri kenapa turnamen di luar negeri melakukannya. Kemungkinan pertama adalah beaya wasit mahal. Masuk akal. Kemungkinan kedua adalah agar petenis bersikap jujur dalam bertanding. Masuk akal juga. Memang harus begitu karena tidak ada juara karena tidak jujur. Nah ini masalahnya. Sportivitas wajib hukumnya  sebagai olahragawan. Tapi seperti kita ketahui yang sudah merupakan rahasia umum. Yaitu tidak berlaku bagi pembinanya. Nah lo kenapa begitu. Hal ini sudah pernah saya kemukakan di Seminar Olahraga dikantor Kemenpora didepan Ketum KONI Pusat. Ini kejadian sekitar tahun 2004 an. Lihat saja event akbar di Indonesia. 

Diturnamen tenis ada aturan2 yang harus dipenuhi. Jika pertandingan individu ada ketentuan yang dikenal sebagai coaching, artinya kalau putra putri sedang bertanding penonton  memberi petunjuk kepada atlet yang sedang bertanding. Apalagi ribut saat bola masih in play. Ingat orangtua maupun pelatih statusnya dalam turnamen sebagai PENONTON. Jika hanya memberi dukungan masih diperkenankan. Saat bola mati.

Petenis seharusnya bisa mandiri karena kalau dilapangan sudah harus bisa mandiri karena tidak boleh ada campur tangan penonton.

Tetapi kita menyadari bahwa saking sayangnya orang tua sehingga perlakuan kepada putra putrinya berlebihan. Akibatnya putra putri ada ketergantungan terhadap penonton yang  ternyata orangtuanya atau pelatih.

Apalagi sampai ada kasus tidak puas atas keputusan wasit. Wasit juga manusia yang tidak lepas dari kesalahan. Dan bisa saja terjadi di turnamen turnamen lainnya.

Kalah menang bukan masalah untuk yunior karena proses masih panjang. Yang penting how to play. Kalau bagus pasti kemungkinan bisa menang besar sekali.

Melihat di Jakarta makin subur turnamen yunior diadakan tapi berbahayanya justru cenderung mengajarkan petenis berbuat curang. Kok bisa. Karena pertandingan tanpa wasit  dan campur tangan orang tua lebih menonjol bertindak seolah olah jadi wasit. Ini yang harus disadari para orang tua 

Menangis kalau kalah, itu wajar saja. Karena menyesal kenapa bisa kalah dilampiaskan dengan menangis. Dia sadar atas kesalahan sampai bisa kalah. Tetapi menangis karena merasa dicurangi itu masalah lain. Apa benar ? Jangan orang tua ikut mendukung atas pernyataan diatas. Karena bisa terjadi di turnamen lainnya. Kalau merasa dicurangi justru diberitahu kepada atlet haknya untuk protes ke wasit ( kalau ada wasit ) dan kalau perlu saat itu juga ke Referee  Jangan baru lapor saat pertandingan sudah selesai. Itu tidak akan merubah angka kekalahannya.

Apalagi kasus orang tua paksakan putra/i nya keluar meninggalkan pertandingan sebagai protes terhadap " kecurangan" yang dianggap terjadi saat itu. Yang sebenarnya terjadi adalah mencari kambing hitam atas kekalahan putra/inya

Inilah kejadian kejadian selama di turnamen tenis yunior. Ini turnamen pembelajaran bagi orang tua dan petenis maupun pelatih yang seharusnya tahu aturan2 yang berlaku. Lebih bijak kalau setelah pertandingan didiskusikan kemenangan atau kekalahan dengan petenis dan pelatihnya sehingga petenis bisa berkembang. Semoga bermanfaat demi tenis yunior Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar