Jakarta, 298 Januari 2019. Penyelenggaraan turnamen merupakan salah satu instrumen penting dalam pembinaan tenis nasional. Karenanya penyusunan aturan penyelenggaraan sebuah event tenis menjadi bagian tak terelakkan dalam program kerja Bidang Pertandingan PP Pelti 2017-2022.
Dalam rangka mencari masukan, Johannes Susanto selaku Ketua Bidang Pertandingan beserta jajarannya menemui penggiat turnamen tenis yunior, August Ferry Raturandang (AFR).
Hingga saat ini, mantan Wakil Sekretaris Jenderal PP Pelti itu aktif menggelar Turnamen Tiga Harian (T3) bertitel AFR Remaja Tenis hingga 22 provinsi di Tanah Air dan mulai menanggalkan Turnamen Dua Harian aka Persami (T2) agar menjadi kegiatan klub setempat.
Berikut petikan perbincangan yang dilakukan di sebuah rumah makan di kawasan Senayan, Jakarta, 5 Juli 2018.
Bagaimana asal-usul T2 di Indonesia?
Mulanya tidak serentak, sekaligus untuk semua Kelompok Umur (KU). Tapi dibagi, misalnya pekan pertama untuk KU 10 dan 14, minggu berikutnya baru 12 dan 16 tahun. Petenis 10 tahun bisa ikut bertanding di KU 12, begitu pula 14 tahun dapat bertanding di KU 16. Jadi minimal setiap petenis dalam sebulan minimal dapat
Perkembangannya?
Hanya satu kali turnamen terselenggara, karena Pengda DKI hanya support dana sekali saja. Setelah itu Pengda mempersilakan jalan sendiri…
Lalu?
Tapi saya tidak tahan dengan konsep lama yang hanya menggelar dua KU tiap minggu. Bila Sabtu dan Minggu harus selalu berada di lapangan, bagaimana dengan keluarga?
Saya pikir cukup satu kali turnamen saja setiap bulan, jadi sekaligus untuk semua KU (10,12, 14, 16 tahun)
Dari program Pengda, konsep ini menjadi program Pengurus Pusat?
Ya, seiring masuknya Ketua Pengda DKI saat itu (Martina Widjaja) ke dalam jajaran Pengurus Pusat (PP) era Tanri Abeng dari semula sebagai penasehat hingga akhirnya sebagai Ketua Bidang Pengembangan dan Hubungan Luar Negeri sejak 2000. Konsep turnamen Persami (T2) ini pun ditawarkan ke Pengda-Pengda di Seluruh Indonesia.
Sambutannya?
Saya mendapat kalender pertandingan tenis Australia yang memiliki lebih dari 100 turnamen per tahun. Dalam hitungan saya, dengan jumlah Pengda dan Pengcab lebih banyak dari Australia, Indonesia tentu bisa menggelar jauh lebih banyak turnamen setiap tahun. Sekitar 400 turnamen per tahun bukan jumlah yang mustahil.
Nah, T2 ini awalnya dirancang untuk pembibitan, sekedar meramaikan iklim tenis di Tanah Air agar memiliki kegiatan setiap minggu. Karenanya tidak ada poin peringkat nasional (PNP) untuk peserta Persami (T2). Dan bisa berlangsung bersamaan waktunya di setiap Pengda.
Akhirnya, Pelti era Martina Widjaja (2009), muncul ide untuk memberikan PNP untuk Persami sebagai daya tarik bagi peserta dan penyelenggara turnamen. Saat itu disepakati bahwa poin yang diberikan untuk T2 adalah 10% dari turnamen junior terendah (G5).
Kemudian berkembang menjadi T3?
Dalam perkembangannya terdapat kesenjangan yang jauh antara dua turnamen yang memberikan PNP, yakni T2 dengan turnamen penuh dalam seminggu yang sudah umum digelar (T7). Secara teori, petenis membutuhkan tidak kurang dari 10 turnamen tiap tahun, minimal 13/14. Sementara petenis yunior yang notabene adalah pelajar pasti akan sulit mengatur jadwal bila harus memenuhi kebutuhan tersebut. Mana ada sekolah yang mau memberikan ijin membolos bagi siswanya lebih dari 13 minggu per tahun?
Karenanya muncul pemikiran untuk menjalankan turnamen tiga harian (T3): Jumat, Sabtu, Minggu. Jadi, pesertanya cukup bolos sehari saja (Jumat) karena banyak sekolah yang libur Sabtu. Peserta tuan rumah malah tak perlu bolos karena pertandingannya bisa dimainkan sore hari.
Dari sisi penyelenggara, turnamen T3 juga mampu mereduksi high-cost T7 karena cukup dengan 4 lapangan, 32 draw, hanya nomor tunggal dan dengan (ralat ) referee. Untuk poin PNP, disepakati, 20 % dari turnamen junior (TDP) grade terendah (G5).
Dengan konsep seperti itu, bagaimana dengan pengaturan jadwal turnamen T2 dan T3?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar